Jumat, 22 Mei 2009

SPANDUK
Tidak ada yang aneh dengan spanduk dipertigaan jalan itu. Sebuah foto setengah badan dan sebuah tulisan “pilih saya wakil dari daerah anda”. Tidak ada yang aneh dengan spanduk itu kecuali jika dipotong-potong dan dibawa pulang untuk dijadikan tlasar warga kampung,terlindas sepeda motor yang lewat, tidak aneh memang jika ada warga yang sengaja mencuri spanduk itu lalu dijualnya kepada pembeli rongsokan,tidak aneh memang.
Akhir-akhir ini banyak dipasang spanduk dijalan-jalan kecamatan Baru,menjelang pemilu para caleg yang mengaku wakil rakyat itu mulai sowan di kampung-kampung agar dikenal. Memang mereka tidak sowan sebagaimana tamu, cukup dengan menghadirkan diri lewat spanduk ukuran beberapa meter itu, kadang juga beberapa menit ditivi-tivi.
“Pak Andi, coba bapak hitung ada berapa spanduk di kampung kita, tahu nggak satu spanduk harganya berapa? ”Tanya salah seorang warga kepada tetangganya sambil tangannya menunjuk ke arah sebuah spanduk di pertigaan jalan. “ Siapa yang pernah ngitung?, Kalau harganya ya tergantung siapa yang buat, kalo saya disuruh buat akan saya mahalkan biar dapet untung banyak”.
“Itu namanya korupsi pak!”
“Memangnya yang dispanduk itu nggak doyan korupsi tho?”
“Saya nggak ngerti, lha taunya baru foto sama nama. Eh, malah sudah ngaku wakil rakyat dari daerah kita. Tu lihat!”. Pak Andi menunjuk ke arah tulisan berwarna hitam dispanduk itu.
“Namanya juga spanduk,maksudnya biar kita milih dia gitu pak!”
“Milih apanya! kenal saja belum saya mau golput kok!. Tapi pak, ngomong-ngomong kok spanduknya bahannya kayak plastik gini ya,mirip tlasar, wah ini bagus buat mengeringkan padi, tebal lagi lagian kalau gara-gara spanduk ini trus mereka jadi wakil rakyat paling juga lupa sama rakyat, kadang malah korupsi lagi, mendingan kita curi biar gak jadi saja”.
“Ah pak andi bisa saja”. Jawab pak Imam singkat tapi maksudnya panjang. Malam itu dia mencurinya.
Paginya spanduk dipertigaan jalan hilang, semua warga tidak tahu kemana hilangnya kecuali pak Imam tapi masalahnya pak imam tak mau memberi tahu warga lainnya sehingga setiap warga yang lewat selalu bilang “kok nggak ada, siapa yang ngambil?”. Bahkan ada yang nyeletuk “ngambil kok cuma satu sekalian ambil saja semua spanduk dikampung kita, kan lumayan bisa buat tlasar”. Orang yang nyletuk itu adalah pak andi yang kesal karena spanduk yang diincarnya telah hilang.
Tidak ada angin,tidak ada hujan apalagi badai hanya angin sepoi bekas motor lewat tapi, spanduk itu ambruk, terlindas roda berkali-kali sehingga foto wajah seorang caleg dari salah satu partai jadi aneh,hancur, mirip korban kesiram air keras. Spanduk di perempatan jalan itu ukurannya 3x4 meter sehingga hampir memenuhi jalan, bambu yang mengapitnya terlihat ada bekas potongan gergaji. Sebuah sepeda motor lewat lagi melindas sepasang bambu yang masih mengapit spanduk itu. “Ngu…..uung, krek”.
“He…..berhenti, naik motor nggak tau aturan!”. Teriak seseorang yang turun dari dalam mobil Panter warna abu-abu. Pagi Sehabis olah raga kebetulan orang itu lewat perempatan bersama sopirnya sekedar melihat-lihat pemandangan dan matanya menyaksikan spanduk yang dipasang anak buahnya kemarin, spanduk yang menampilkan wajahnya agar dikenal masyarakat tapi sayang spanduk itu wajahnya dispanduk itu berubah,parah. Ia marah. “Sodiq cepat keluar, pasang lagi spanduk itu”. Perintahnya kepada sopir.
“Kalo saya tahu siapa yang merobohkan dan melindas sehingga wajah saya jadi seperti setan bakal tak laporkan polisi, memangnya mereka nggak tau kalo spanduk ini harganya mahal?”. Umpatan-umpatan itu terdengar beberapa warga kampung yang hendak ke sawah salah satunya pak Andi.
“Pak sebentar pak, bapak tau nggak siapa yang merobohkan spanduk saya ini?” tanyanya masih dengan nada marah sambil mendekati pak Andi. “Saya nggak tau, angin kali pak, jadi bapak yang mau mencalonkan diri tho kok kelihatanya marah-marah melihat spanduk itu ambruk?”.
“Gimana nggak marah spanduk itu harganya mahal. Itu digital printing. Satu spanduk sampai tiga ratus ribu, coba bapak hitung kalau saya memasang lima dikampung ini dan sepuluh di kampung sebelah berapa harganya? itu baru dikampung belum dikota,dijalan-jalan.jutaan rupiah habis pak?sudah begitu eh ini malah dilindas motor yang lewat, apa saya nggak rugi kalo nanti saya nggak jadi ?”. Pak Andi diam saja. Cukup hatinya yang berkata. “Sebenarnya mau jadi caleg apa mau bisnis?. Bapak tidak tahu kalo saya yang merobohkan spanduk ?”.
“jadi sebenarnya bapak tahu nggak?, tanyanya lagi . “tidak” .jawab petani itu singkat.
Malam itu saat semua warga kampung baru tertidur lelap, jalanan sepi tidak ada orang lewat. “Pak andi kalo satu harganya sampai tiga ratus ribu kalo lima berapa?, kan sudah satu setengah juta iya kan pak? Pak andi kegirangan karena lima spanduk telah ditangannya,ia berencana menjualnya ke pembeli rongsokan agar mendapatkan uang untuk membeli pupuk yang harganya mahal.
“Ssst... pelan-pelan nanti kedengeran orang lho pak Imam, sementara spanduknya biar dirumah saya dulu malam ini besok kita jual bareng-bareng”
Begitulah kedua orang itu mencuri semua spanduk yang ada dikampungnya. Semua orang tidak tahu. Sama halnya foto di spanduk yang mengaku wakil rakyat itu tidak tahu kalau rakyat hidup menderita. Mau menanam padi yang menghasilkan beras tapi pupuk tak kunjung terbeli, minyak tanah diganti tapi mendapatkan gas juga harus antri berhari-hari. Spanduk itu masih ada dimana-mana tapi tidak mengerti. Hanya mengerti bagaimana membohongi agar rakyat memilihnya. Sungguh mereka tidak mengerti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar