Jumat, 22 Mei 2009

BERKAH SEDEKAH

Gerimis membasahi jalan – jalan di alun – alun kota purwodadi. Selepas Maghrib kendaraan mulai jarang lewat mungkin orang – orang malas keluar rumah. Sungguh tak seramai hari biasanya begitupula jualanku hari ini. Sepi.
Dipojok selatan alun – alun tepat di depan kantor pos kota purwodadi aku dan temanku berjualan. Seperti pedagang kaki lima lainnya yang menempati trotoar jalan sebagai tempat jualan. Ada dua gerobak disana. Satu gerobak untukku gunakan berjualan burger dan satu lagi digunakan temanku Mol untuk berjualan kue leker.
“Bud sholat dulu sana !”. Mol menyuruhku sholat Isya di masjid Baitul Makmur Alun – Alun. Biasanya sholat Isya kami lakukan setelah selesai kerja. Pembeli sering ramai sehingga kami tak bisa meninggalkan jualan. Malam ini entah kenapa sehabis gerimis sepi sekali dan bisa aku tinggal sebentar untuk sholat.
Butuh beberapa menit untuk sampai masjid. Aku segera mengambil air wudlu sebab sholat jamaah telah dimulai. Sehabis sholat kupanjatkan doa “ Ya Allah semoga jualanku laris”
Dari kejauhan kulihat Mol masih duduk saja. Tak ada pembeli yang datang. Benar – benar hari yang sepi.
“Gimana Mol ada yang beli nggak?”. Tanyaku pada mol. Tanya yang tak perlu dijawab mungkin.
“Sabar Bud...! masih ada beberapa jam, pasti masih ada yang beli. Tadi ada yang beli burgermu satu yang kecil, sekarang aku sholat dulu sekaligus berdoa moga – moga saja hari ini jualan kita laris biar dapat uang banyak dan nggak diomeli mas Amin”. Mol menaiki sepedanya untuk pergi sholat isya.
Sebenarnya ramai atau sepi jualanku sama saja. Sebab kami digaji harian bukan bagi hasil. Gajiku jumlahnya kalah jauh dari Mol sebab aku beberapa minggu disini sedang Mol sudah setahun lebih berjualan di Alun-alun ini. Kalau ramai kadang kami mendapatkan tambahan beberapa ribu tapi kalau sepi kami diomeli habis – habisan oleh mas Amin. Padahal kami sudah sangat lelah dan malam telah larut sudah seharusnya kami tidur agar disekolahan tidak ngantuk atau malah tertidur. Pernah suatu ketika Mol sampai ditegur guru ekonomi gara – gara ia tidur saat pelajaran berlangsung. Tapi nampaknya inilah pilihan hidup kami. Mencari rezeki yang halal dengan keringat sendiri demi bisa menamatkan SMA.
Mol telah datang dari masjid. Wajahnya nampak segar setelah menyentuh air wudlu meski tak sesegar perasaanku yang resah. tak ada pembeli yang datang.
“Gimana Bud?”. Tanya mol padaku.
“ Entah mol, belum ada yang beli. Gimana ini..?”. Aku cemas, khawatir jika laku dua burger besar dan cuma mendapat uang sepuluh ribu. Pasti mas amin akan memarahiku habis – habisan.
“Tenang saja bud, pasti laku. Nggak usah khawatir. Rezeki kita sudah diatur Allah. Jika memang dapatnya sedikit wajar saja, kita terima saja. Mungkin kita saja yang kurang sungguh – sungguh menjemputnya”. Aku belum paham apa yang maksud mol kecemasan itu membuat pikirku kalut.
Ku coba renungkan kata – kata Mol. Tiba – tiba seorang peminta – minta datang menghampiri gerobak kami. Mol yang duduk di sampingku sigap berdiri mendekati peminta – minta itu dan memberikan selembar limaribuan sebelum peminta – minta itu sempat berucap “ mas paring – paring mas!!”. Tanpa pikir panjang kuikuti apa yang dilakukan Mol untuk bersedekah. Kuambil seribuan untuk segera kuberikan.
Wajah nenek tua yang berambut putih dengan membawa potongan kardus tersenyum ramah. Nampaknya ia senang sekali. “ Terima kasih sekali nak. Ternyata masih ada yang memberi uang buat makan besok, semoga jualan kalian laris ya!!”.
“Amin” Ucapku dalam hati . Nenek itu berlalu menuju tempat lain untuk mengemis lagi. Beberapa saat kemudian sebuah mobil APV hitam berhenti tepat didepan jualanku. Empat orang keluar dari dalam mobil menuju kami. Ia membeli sepuluh leker kepikacos yang harganya paling mahal serta membeli lima burger ukuran besar ditambah keju. Datang lagi dua orang laki – laki dengan sepeda motor memesan lima belas kue leker dan tujuh burger. Satu per satu pembeli kami layani dengan cepat karena jumlah yang dibeli lumayan banyak dari biasanya.Tak sampai satu jam sudah habis semua. “Alhamdulillah” ucapku dalam hati penuh syukur. Benar – benar sedekah yang membawa berkah.
Kami segera tutup setelah habis semua. Sambil beres – beres kutanyakan pada Mol “Maksudmu tadi bersedekah ini tho?”. Mol tersenyum mendengar pertanyaanku.
“Begitulah berkah dari sebuah sedekah. Mulai besok bersedekahlah kapanpun, saat ramai sebagai syukur kita kepada Allah dan saat sepi lebih baik ditambahi untuk menjemput temannya diawang – awang”. Lagi – lagi aku tidak paham apa yang diomongkan mol. Bagiku berkah sedekah adalah tidak jadi diomeli mas Amin.


saat teringat masa kerja di lekeran sama mol....
banyak hal yang kau ajarkan padaku mol..
Syukron... Jazakillah..
SPANDUK
Tidak ada yang aneh dengan spanduk dipertigaan jalan itu. Sebuah foto setengah badan dan sebuah tulisan “pilih saya wakil dari daerah anda”. Tidak ada yang aneh dengan spanduk itu kecuali jika dipotong-potong dan dibawa pulang untuk dijadikan tlasar warga kampung,terlindas sepeda motor yang lewat, tidak aneh memang jika ada warga yang sengaja mencuri spanduk itu lalu dijualnya kepada pembeli rongsokan,tidak aneh memang.
Akhir-akhir ini banyak dipasang spanduk dijalan-jalan kecamatan Baru,menjelang pemilu para caleg yang mengaku wakil rakyat itu mulai sowan di kampung-kampung agar dikenal. Memang mereka tidak sowan sebagaimana tamu, cukup dengan menghadirkan diri lewat spanduk ukuran beberapa meter itu, kadang juga beberapa menit ditivi-tivi.
“Pak Andi, coba bapak hitung ada berapa spanduk di kampung kita, tahu nggak satu spanduk harganya berapa? ”Tanya salah seorang warga kepada tetangganya sambil tangannya menunjuk ke arah sebuah spanduk di pertigaan jalan. “ Siapa yang pernah ngitung?, Kalau harganya ya tergantung siapa yang buat, kalo saya disuruh buat akan saya mahalkan biar dapet untung banyak”.
“Itu namanya korupsi pak!”
“Memangnya yang dispanduk itu nggak doyan korupsi tho?”
“Saya nggak ngerti, lha taunya baru foto sama nama. Eh, malah sudah ngaku wakil rakyat dari daerah kita. Tu lihat!”. Pak Andi menunjuk ke arah tulisan berwarna hitam dispanduk itu.
“Namanya juga spanduk,maksudnya biar kita milih dia gitu pak!”
“Milih apanya! kenal saja belum saya mau golput kok!. Tapi pak, ngomong-ngomong kok spanduknya bahannya kayak plastik gini ya,mirip tlasar, wah ini bagus buat mengeringkan padi, tebal lagi lagian kalau gara-gara spanduk ini trus mereka jadi wakil rakyat paling juga lupa sama rakyat, kadang malah korupsi lagi, mendingan kita curi biar gak jadi saja”.
“Ah pak andi bisa saja”. Jawab pak Imam singkat tapi maksudnya panjang. Malam itu dia mencurinya.
Paginya spanduk dipertigaan jalan hilang, semua warga tidak tahu kemana hilangnya kecuali pak Imam tapi masalahnya pak imam tak mau memberi tahu warga lainnya sehingga setiap warga yang lewat selalu bilang “kok nggak ada, siapa yang ngambil?”. Bahkan ada yang nyeletuk “ngambil kok cuma satu sekalian ambil saja semua spanduk dikampung kita, kan lumayan bisa buat tlasar”. Orang yang nyletuk itu adalah pak andi yang kesal karena spanduk yang diincarnya telah hilang.
Tidak ada angin,tidak ada hujan apalagi badai hanya angin sepoi bekas motor lewat tapi, spanduk itu ambruk, terlindas roda berkali-kali sehingga foto wajah seorang caleg dari salah satu partai jadi aneh,hancur, mirip korban kesiram air keras. Spanduk di perempatan jalan itu ukurannya 3x4 meter sehingga hampir memenuhi jalan, bambu yang mengapitnya terlihat ada bekas potongan gergaji. Sebuah sepeda motor lewat lagi melindas sepasang bambu yang masih mengapit spanduk itu. “Ngu…..uung, krek”.
“He…..berhenti, naik motor nggak tau aturan!”. Teriak seseorang yang turun dari dalam mobil Panter warna abu-abu. Pagi Sehabis olah raga kebetulan orang itu lewat perempatan bersama sopirnya sekedar melihat-lihat pemandangan dan matanya menyaksikan spanduk yang dipasang anak buahnya kemarin, spanduk yang menampilkan wajahnya agar dikenal masyarakat tapi sayang spanduk itu wajahnya dispanduk itu berubah,parah. Ia marah. “Sodiq cepat keluar, pasang lagi spanduk itu”. Perintahnya kepada sopir.
“Kalo saya tahu siapa yang merobohkan dan melindas sehingga wajah saya jadi seperti setan bakal tak laporkan polisi, memangnya mereka nggak tau kalo spanduk ini harganya mahal?”. Umpatan-umpatan itu terdengar beberapa warga kampung yang hendak ke sawah salah satunya pak Andi.
“Pak sebentar pak, bapak tau nggak siapa yang merobohkan spanduk saya ini?” tanyanya masih dengan nada marah sambil mendekati pak Andi. “Saya nggak tau, angin kali pak, jadi bapak yang mau mencalonkan diri tho kok kelihatanya marah-marah melihat spanduk itu ambruk?”.
“Gimana nggak marah spanduk itu harganya mahal. Itu digital printing. Satu spanduk sampai tiga ratus ribu, coba bapak hitung kalau saya memasang lima dikampung ini dan sepuluh di kampung sebelah berapa harganya? itu baru dikampung belum dikota,dijalan-jalan.jutaan rupiah habis pak?sudah begitu eh ini malah dilindas motor yang lewat, apa saya nggak rugi kalo nanti saya nggak jadi ?”. Pak Andi diam saja. Cukup hatinya yang berkata. “Sebenarnya mau jadi caleg apa mau bisnis?. Bapak tidak tahu kalo saya yang merobohkan spanduk ?”.
“jadi sebenarnya bapak tahu nggak?, tanyanya lagi . “tidak” .jawab petani itu singkat.
Malam itu saat semua warga kampung baru tertidur lelap, jalanan sepi tidak ada orang lewat. “Pak andi kalo satu harganya sampai tiga ratus ribu kalo lima berapa?, kan sudah satu setengah juta iya kan pak? Pak andi kegirangan karena lima spanduk telah ditangannya,ia berencana menjualnya ke pembeli rongsokan agar mendapatkan uang untuk membeli pupuk yang harganya mahal.
“Ssst... pelan-pelan nanti kedengeran orang lho pak Imam, sementara spanduknya biar dirumah saya dulu malam ini besok kita jual bareng-bareng”
Begitulah kedua orang itu mencuri semua spanduk yang ada dikampungnya. Semua orang tidak tahu. Sama halnya foto di spanduk yang mengaku wakil rakyat itu tidak tahu kalau rakyat hidup menderita. Mau menanam padi yang menghasilkan beras tapi pupuk tak kunjung terbeli, minyak tanah diganti tapi mendapatkan gas juga harus antri berhari-hari. Spanduk itu masih ada dimana-mana tapi tidak mengerti. Hanya mengerti bagaimana membohongi agar rakyat memilihnya. Sungguh mereka tidak mengerti.
JALAN LAIN

“Terima kasih ya bu yani uangnya, nanti berkas-berkasnya akan saya bantu buatkan sekedar formalitas gitu lho bu. Tapi kalau anaknya sudah datang dan dia mau cari sendiri juga nggak apa-apa, itu juga lebih baik kok.”

“Ya udah pak, lha wong besok anaknya juga pulang. Yang penting anak saya harus jadi PNS entah bagaimana caranya,saya percayakan sama bapak”.

“Ibu gak usah khawatir, saya jamin apa yang ibu harapkan akan terwujud. Saya pulang dulu bu Yani, sekali lagi terima kasih atas semuanya. Nanti kalau ada apa-apa telpon saja!”,

” Wassalamu’alaikum”. Bu Yani menjawab salam sambil berjabat tangan. Ia sepakat menjadikan anaknya PNS dengan bantuan pak Seno meski harus membayar puluhan juta.

Pagi itu rumah keluarga bu Yani sepi saat wanto tiba dari Jakarta. Bu Yani dan suaminya masih di sawah sehingga tidak ada seorangpun di rumah karena kakak-kakak wanto semuanya sudah berkeluarga. Tinggal wanto yang belum menikah dan punya pekerjaan tetap seperti saudara lainya yang mengabdi kepada Negara menjadi PNS.

Wanto langsung masuk menuju kamarnya dan meletakkan tasnya yang hanya berisi beberapa potong pakaian. Ia pulang mendadak karena ibunya menyuruh pulang karena ada pendaftaran CPNS. Sebenarnya ia tidak mau pulang,apalagi mendaftar CPNS. Meski seorang sarjana tetapi tidak begitu suka menjadi PNS terlebih jika dia tahu caranya seperti kakak-kakaknya yang lain. Tapi bu Yani terlanjur melakukan jalan lain menjadi PNS seperti dua anaknya yang lain dan Seno tidak tahu hal itu.

“Lho sudah pulang tho? baru pukul sepuluh sudah sampai rumah, biasanya sore baru sampai”

“Iya Bu, lha ibu nyuruh pulangnya kayak ada yang sangat penting. Mendadak lagi, ya udah aku langsung pulang”

“Gimana gak penting pendaftaran CPNS tinggal beberapa hari lagi, kalau pulangnya telat pasti gak bisa cari berkas-berkasnya. Jadinya gak bisa daftar CPNS. Kamu masih capek nggak?kalau nggak hari ini juga cepetan cari sana! Jangan sampai telat lho!”

“Ah malas bu, masih capek, mau istirahat dulu”. Wanto menolak perintah ibunya karena ia memang masih capek, tapi itu membuat ibunya agak sedikit kesal. Kenapa anaknya yang satu ini sikapnya agak keras tidak seperti bapaknya yang manutan.

Esoknya Wanto berangkat mencari beberapa berkas untuk melengkapi persyaratan mendaftar CPNS. Di kantor DISNAKERTRANS tempat perolehan kartu kuning antrian panjang terjadi. Beratus-ratus orang sedang menunggu bergiliran untuk mendapatkan salah satu syarat mendaftar CPNS

Sehabis zuhur seno pulang dari mencari berkas melamar CPNS karena banyaknya para pencari, ia belum berhasil melengkapi berkas persyaratan itu. Sesampainya di rumah,ibunya langsung menanyainya.”Gimana Sudah beresberkas-berkasnya? soalnya nanti mau di cek pak seno.”

“Kok dicek pak Seno memang dia siapa?tanya wanto yang berdiri didepan ibunya. Ia berharap tidak didaftarkan CPNS lewat jalan lain.

“Itulah saudaranya pamanmu, dia itu juga yang dulu juga membantu kakak-kakakmu jadi PNS,kemarin uangnya sudah tak kasihkan nanti dia juga mau bantu kamu.

“Jadi saya mau di lewatkan jalan belakang?. sergah wanto. Apa yang dipikirkan wanto ternyata benar.

“Bu saya gak mau.” Tolak wanto tegas.

“Lebih baik saya jualan buah di jakarta meskipun gaji saya kecil daripada jadi PNS dengan cara seperti ini. Bagi saya itu tidak halal bu!”

Mendengar ucapan wanto, bu yani mulai marah. “Dasar anak tidak tahu di untung. Apa kamu tidak melihat kakak-kakakmu itu hidup bahagia punya rumah. Punya kendaraan sendiri, lha kamu punya apa?kerja berbulan Cuma dapat satu juta, coba kalau kamu jadi PNS, tiap bulan gajian dan pas kamu tua nanti dapat pensiunan. Ibu dan ayahmu sudah habis banyak uang buat menyekolahkan kamu. Rugi kalau kamu Cuma jadi pedagang dengan gaji kecil seperti itu,apa nanti kata orang-orang sini nanti?”.

“Sudah-sudah kita bicarakan baik-baik, gak enak kalau kedengaran tetangga.” Ayah Wanto mencoba menengahi pertengkaran kecil itu. Ia tidak bisa berbuat banyak hanya menasehati meski dalam hatinya tidak setuju dengan cara yang dilakukan istrinya, tetapi selama ini dia selalu mengalah.

Baiklah kalo ibu masih memaksa izinkan saya besok ke Jakarta dulu untuk memberesi masalah saya disana.setelah itu saya akan pulang. Wanto mengalah, ia menyadari keinginan orang tua

Pak seno mendatangi rumah bu Yani ia mau memastikan berkas-berkas sudah beres.“Gimana bu berkas-berkasnya, oh ya ngomong-ngomong wantonya kemana?

“Ini pak periksa sendiri”.

“Wantonya sudah ke Jakarta lagi mau nyelesaikan urusannya disana paling berapa hari saja”. Ucap bu Yani sambil memberikan sebuah map warna merah .

Pak Seno masih sibuk memeriksa satu persatu berkas lamaran CPNS itu. Sepertinya ada yang belum lengkap. “ Bu Yani ternyata ini ada yang belum lengkap, tapi ibu gak usah kawatir semua bisa diatasi kok!”

“Maksudnya kami nambah berapa lagi?” Sergah pak Yanto yang paham betul akan sikap pak Seno.

“Gimana kalau lima juta? nanti wantonya gak usah ikut tes dan langsung jadi?”

Bu Yani dan suaminya masih terdiam ia tidak segera menjawab.

Ia masih bingung mau dibayar dengan apa?sawahnya sudah habis semua, tinggal satu itu pun sawah milik orang lain selain itu mereka heran kenapa sekarang lebih mahal dan caranya agak aneh tidak seperti dulu.

“Gimana bu ?”. Tanya pak seno lagi. Bu yani dan suaminya terhentak kaget, dari wajah mereka seperti tidak menemukan jalan keluar. “Iya pak Seno tapi besok saja pak seno datang kesini” .

“Baik bu saya pamit dulu dan kesini lagi besok”

Kesepakatan itu tercapai juga. Sampai waktu yang ditentukan pak Seno mengambil uang itu dari bu Yani, pak Seno sempat berjanji jika nanti tidak jadi PNS maka uang akan di kembalikan semuannya. Sekali lagi bu Yani merasa ada yang aneh kenapa pakai janji-janji segala.

Koran-koran terus memberitakan CPNS, ada beratus orang yang berkas lamarannya di tolak lantaran tidak lengkap,ada juga yang ijasahnya tidak sesuai dengan formasi yang ada. Melihat berita-berita seperti itu bu Yani tetap tenang-tenang, ia Yakin anaknya pasti jadi PNS.

Pak Seno mengabari bu Yani agar Wanto pulang untuk mengikuti ujuan itu. Lagi-lagi katanya buat formalitas. Setelah itu Bu Yani menelepon wanto dan menyuruhnya agar mau pulang.

Dalam perjalanan pulang wanto iseng-iseng membeli koran, ia ingin melihat berita tentang CPNS didaerahnya. Di halaman 8 tampak jelas dia melihat pelamar membludak, tempat tes di tambah jadi 34 lokasi,ia mencoba membuka halaman selanjutnya. Ia terkejut melihat foto ibunya yang sedang menangis-nangis dikantor polisi seperti sedang kehilangan sesuatu. Matanya masih menjelajah kata-demi kata dengan penuh penasaran ada apa dengan ibunya?. Rasa penasaran masih menuntun mata wanto hingga ia menjadi tak percaya bahwa ibunya kena tipu oleh pak seno puluhan juta rupiah .
Bus masih melaju kencang menembus angin sepoi pagi itu,para penumpang masih terlelap dalam lelah masing-masing Roda masih terus berputar menuju jalan lainnya, jalan yang harus ditempuh agar bisa sampai tujuan.